Mengenang Pangeran Diponegoro: Dari Lukisan Ikonik hingga Jejak Pengasingan

TROBOS.CO | Setiap tanggal 11 November, ingatan saya selalu terhubung pada hari kelahiran seorang pahlawan besar. Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi secuil kisah tentang Pangeran Diponegoro, berdasarkan catatan sejarah dan pengamatan pribadi. Mari kita mulai dari gambaran yang paling melekat di benak banyak orang: lukisannya yang legendaris.

Di masa kecil, hampir setiap rumah di Jawa seakan memiliki reproduksi lukisan yang sama: Pangeran Diponegoro dengan pakaian serba putih, keris di pinggang, menunggang kuda hitam dengan pandangan penuh tekad. Versinya beragam; ada yang tangannya menunjuk ke depan, ada pula yang sedang menghunus keris.

banner 1280x716

Lukisan aslinya, jika saya tidak salah ingat, adalah karya maestro Basuki Abdullah. Sedangkan yang tersebar luas di dinding-dinding rumah adalah hasil reproduksi oleh banyak pelukis. Mengapa lukisan ini begitu populer? Jawabannya sederhana: Pangeran Diponegoro adalah perlambang perjuangan semesta rakyat Jawa. Meski seorang pangeran, perjuangannya dijiwai oleh semangat rakyat biasa, menjadikannya figur idola yang abadi.

Pangeran Diponegoro lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat pada 11 November 1785 dengan nama Bendara Raden Mas Mustahar. Seiring waktu, namanya berganti menjadi Bendara Raden Mas Antawirya. Setelah mendalami agama Islam, ia mengambil nama Ngabdul Kamid (logat Jawa untuk Abdul Hamid). Saat ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, naik takhta, ia diwisuda sebagai Bendara Pangeran Haryo Diponegoro.

Karena ibunya adalah seorang selir dan bukan permaisuri, Pangeran Diponegoro memilih untuk menjauhi pusaran kekuasaan istana. Ia lebih memilih kehidupan yang tenang, mendalami agama, dan tinggal di daerah yang lebih dekat dengan rakyat biasa.

Meski menjauhi politik, takdir membawanya kembali. Ia ditunjuk sebagai anggota perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengkubuwana V yang saat itu masih balita, berusia 3 tahun (1822). Di sinilah kekecewaannya memuncak. Ia melihat pemerintahan keraton didikte oleh Patih Danureja dan Residen Belanda.

Pangeran Diponegoro menentang keras penerapan pajak yang memberatkan rakyat dan marah atas praktik penyebaran madat (opium) oleh Belanda yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Puncak perlawanannya terjadi ketika pemerintah Hindia-Belanda seenaknya memasang patok di atas tanah pribadinya di Desa Tegalrejo.

Insiden Tegalrejo memicu pecahnya Perang Jawa (1825-1830). Perang ini adalah ujian terberat bagi Hindia-Belanda, yang menelan ribuan korban jiwa dari kedua belah pihak dan menguras kas pemerintah hingga 25 juta Gulden. Bisa dibilang, ini adalah perang paling merugikan yang pernah dihadapi Belanda di Nusantara, yang mungkin hanya bisa disaingi oleh hebatnya Puputan Bayu di Blambangan (1771-1772).

Karena kalah dalam taktik dan tipu daya, Pangeran Diponegoro akhirnya ditangkap. Ia dibawa dari Semarang ke Batavia, lalu diasingkan ke Manado, dan akhirnya wafat dalam pengasingan di Makassar pada 8 Januari 1855.

Namun, jejaknya masih dapat ditelusuri. Di Danau Tondano, Sulawesi Utara, terdapat komunitas Jaton (Jawa-Tondano) yang merupakan keturunan pengikutnya, seperti Kiai Mojo. Di Makassar, makamnya berdampingan dengan salah satu istrinya, RA Ayu Ratnaningsih. Keturunannya pun tersebar, salah satunya adalah Lies F. Nurdin, istri mantan Gubernur Sulawesi Selatan. Mereka adalah bukti hidup dari warisan sang pangeran yang tak pernah pudar.

REDAKSI TROBOS.CO

banner 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *