TROBOS.CO | Lumajang – Dunia tilawatil Qur’an di Lumajang memiliki sejarah panjang yang tidak lepas dari jasa para pendahulu. Ada tiga sosok legendaris yang dikenal sebagai “pahlawan” qiroah di Kota Pisang. Mereka adalah Ustadz Nawawi Qodir, Ustadz Nafiul Amri, dan Ustadz Masyfii Al Farobi.
Ketiganya dikenal gigih, sabar, dan penuh dedikasi dalam mengembangkan seni baca Al-Qur’an hingga akhir hayat. Sejak tahun 1960-an, mereka menjadi pionir dakwah melalui tilawah di berbagai pelosok Lumajang, meski harus menghadapi keterbatasan ekonomi dan fasilitas.
Perjuangan di Tengah Keterbatasan
Di masa itu, transportasi dan akses jalan belum semudah sekarang. Para guru qiroah rela naik sepeda onthel, bahkan berjalan kaki, hanya untuk mengajar para santri di pedesaan terpencil.
“Kadang setelah sampai, muridnya tidak datang,” kenang almarhum Ustadz Nafi’, salah satu guru senior qiroah. “Sudah menunggu lama, akhirnya pulang jalan kaki. Padahal uang hanya cukup untuk berangkat.”
Tak jarang, beliau menempuh perjalanan lebih dari satu jam, bahkan beberapa kilometer dengan berjalan kaki, hanya untuk melaksanakan jadwal mengajar.

Ketulusan Tanpa Pamrih
Pengalaman serupa dialami Ustadz Masyfii Al Farobi. Suatu ketika, setelah mengajar qiroah di sebuah mushola kecil, para santri memberinya uang receh hasil iuran. Namun, sang istri menolak pemberian itu.
“Kasihan anak-anak, mereka tidak mampu tapi semangat belajar qiroah,” ujar istrinya.
Begitu pula dengan Ustadz Nawawi Qodir, guru tilawah senior yang setiap malam Minggu mengajar di Madrasah Nurul Islam Lumajang. Meski para murid hanya bisa urunan sedikit untuk transport, beliau tetap berangkat dengan sepeda onthel tanpa keluhan.
Kisah di Senduro
Suatu waktu, Ustadz Nafi’ mendapat jadwal mengajar qiroah di Senduro. Ia berangkat dengan taksi pedesaan bersama para pedagang sayur. Namun sesampainya di lokasi, pengurus kegiatan ternyata tidak hadir.
Setelah mengajar sekali, uang di sakunya hanya cukup untuk membeli kopi. Untuk ongkos pulang, tidak ada. Ia pun berjalan kaki dua kilometer menuju terminal, lalu melanjutkan perjalanan sejauh lima kilometer lagi ke rumah sahabatnya untuk meminjam sepeda motor.
Temannya langsung mengantarkan beliau pulang ke rumahnya di Kampung Arab, Rogotrunan, Lumajang — tanpa tahu bahwa sang ustadz sebenarnya sedang kehabisan ongkos.
Semangat Dakwah dan Cinta Al-Qur’an
Ketiganya memiliki kesamaan: berdakwah bukan karena imbalan, tetapi karena cinta kepada Al-Qur’an. Mereka merasa bahagia jika berhasil mencetak kader-kader qori dan qoriah muda.
Mereka sadar, mencetak seorang qori sejati tidak mudah. Selain harus memiliki suara yang baik dan nafas panjang, dibutuhkan pula ketekunan, kemauan kuat, dan keistiqamahan dalam berlatih.
“Banyak yang awalnya tidak berbakat, tapi karena rajin dan sabar, akhirnya menjadi qori handal,” ungkap Shodiq Syarif, aktivis Jamiyatul Qurro Walhuffad tahun 1980-an.
Sebaliknya, suara bagus tanpa semangat belajar tidak akan menghasilkan apa pun. Dunia tilawah hanya bisa dijalani oleh mereka yang benar-benar mencintai Al-Qur’an dan istiqamah dalam perjuangan.
Demikianlah kisah tiga pahlawan qiroah Lumajang. Dari ketulusan mereka, lahir generasi penerus yang meneruskan gema tilawah di berbagai penjuru daerah. Semoga semangat dan dedikasi mereka menjadi inspirasi bagi qori dan qoriah muda masa kini.
Oleh: Shodiq Syarif – Aktivis Jamiyatul Qurro Walhuffad 1980-an







