Refleksi 80 Tahun Indonesia Merdeka: Krisis Kejujuran dan Keadilan

Genap sudah 80 tahun usia kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak 17 Agustus 1945, kita semestinya telah terbebas dari cengkeraman penjajah. Namun, perjalanan demokrasi kita masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang menuntut penyelesaian segera.

Kemerdekaan, yang oleh sang Proklamator Ir. Soekarno diartikan sebagai “jembatan emas” menuju kehidupan bangsa yang adil dan makmur, tampaknya masih menjadi teori yang rapi di atas kertas. Denyut nadinya belum sepenuhnya dirasakan oleh rakyat di berbagai pelosok negeri.

banner 336x280

“Tidak dikatakan rakyat gapai kemakmuran tanpa adanya kejujuran, tiada pula disebut bangsa merdeka, manakala keadilan hukum tidak ditegakkan secara merata.”

Krisis Kejujuran Bangsa

Jujur adalah akhlak mulia yang seharusnya menghiasi setiap kebijakan para elite bangsa. Namun, yang kita saksikan justru praktik persekongkolan dan kebohongan yang menjadi konsumsi publik. Kejujuran akan menghasilkan surplus kebaikan, sementara kebohongan hanya akan terus memproduksi kerusakan.

Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim:

“Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan jauhilah oleh kalian berbuat bohong (dusta), karena kebohongan membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka.”

Rindunya Keadilan Hukum

Selain kejujuran, keadilan adalah pilar utama lainnya. Namun, hukum di negeri ini masih terasa tebang pilih: tajam ke bawah namun tumpul ke atas, runcing pada lawan politik (oposisi) dan tumpul pada kawan (pemerintahan).

Padahal, betapa mulianya seorang pemimpin yang adil, hingga Allah SWT menyebutnya dekat pada ketakwaan (Q.S. Al-Maidah: 8). Rasulullah SAW bahkan menempatkan pemimpin yang adil sebagai salah satu dari tujuh golongan yang kelak mendapatkan naungan-Nya di hari pembalasan.

Indonesiaku mungkin masih merintih, tapi tak akan pernah kubiarkan ia terus larut dalam sedih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *