Trobos.co, Malang Agustus 1997 — Sebuah ruangan rawat inap di Rumah Sakit RKZ, yang oleh penulis disebut “Gedung Putih”, menjadi awal perjalanan panjang menuju dunia kepenyairan. Di balik musibah osteoporosis yang diderita sejak usia muda, Kartini Ayu W. menemukan ruang baru untuk berdamai dengan takdir melalui kata-kata dan puisi.
“Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Tagabun: 11)
Didiagnosis Osteoporosis di Usia Muda
Kartini awalnya menjalani serangkaian pemeriksaan medis setelah diduga terserang polio. Namun, hasil lanjutan menunjukkan bahwa ia mengalami osteoporosis akibat efek samping obat-obatan kimia yang dikonsumsinya sejak masa kecil, ketika menderita “kebocoran ginjal”.
Pada masa itu, Kartini baru saja lulus dari SMKN 1 Lumajang. Kondisi tersebut membuat dokter memutuskan untuk melakukan operasi bedah tulang dengan pemasangan platina di kedua kakinya — sebuah prosedur yang dampaknya masih ia rasakan hingga kini.
Hari-Hari Gelap di Rumah Sakit
Menjalani rawat inap lebih dari sebulan, Kartini mengaku hidupnya seolah berhenti. Pertanyaan tentang masa depan, rasa tidak adil, hingga keputusasaan menghantui hari-harinya. Satu-satunya tempat ia mencurahkan isi hati adalah sebuah buku diary kecil yang setia menemaninya.
“Duniaku serasa berhenti. Aku terpuruk saat ini, masa mudaku hilang, dan aku tidak bisa apa-apa,” tulisnya dalam catatan harian.
Belajar Berdamai dengan Keadaan
Sepulang dari rumah sakit, Kartini menjalani berbagai terapi. Meski dokter sempat menyatakan kemungkinan fisiknya tidak akan kembali normal, ia tetap memilih untuk berpegang pada keyakinan akan kesembuhan.
Ia belajar menerima kondisi, menepis rasa minder, hingga berprinsip untuk tidak peduli pada pandangan orang lain. Baginya, menaklukkan dunia dengan segala keterbatasan bisa dilakukan lewat tulisan.
“Diam tidak akan mengubah keadaan. Bagiku, bagaimana caranya aku bisa menaklukkan dunia dengan segala keterbatasanku lewat kebisaanku nantinya,” tegas Kartini.
Dari titik itulah, benih-benih penyair dalam dirinya mulai tumbuh, menjadikan sakit sebagai pintu masuk menuju dunia sastra.
Penutup
Meski perjalanan hidupnya penuh ujian, Kartini Ayu W. berhasil mengubah penderitaan menjadi kekuatan. Osteoporosis bukan akhir, melainkan awal dari langkahnya menulis puisi yang kelak dikenal luas.
(Bersambung ke Bagian 2)
📌 Bionarasi Penulis
Kartini Ayu W., lahir di Lumajang pada 10 April, di lingkungan Markas TNI AD Yonif 515. Pendidikan terakhir di SMKN 1 Lumajang Jurusan Perkantoran.
Karya-karyanya antara lain:
-
Cerpen Duka di dalam Buku Harian (Majalah Sakinah Lumajang, 2000)
-
Antologi puisi Genta Sukma (2011)
-
Antologi puisi Buatmu Abang Becak (2012)
-
Kumpulan puisi tunggal Jingga Sebelum Terbenam (2012)
-
Kumpulan geguritan Rengenge Sukma Perawan (2013)
-
Antologi puisi Sungai Bukit dan Langit (2015)
-
Antologi puisi Rujakan (2017)
-
Kumpulan puisi tunggal Trinayaka (2018)
-
Antologi puisi ASEAN Hompimpa (2018), Numera Bersayap (2018), Dandani Luka-luka Tanah Air (2021)
-
Kumpulan puisi tunggal Masih Ada Embun di Negeriku (2022)
Kontak: 0812-3511-8450