TROBOS.CO – Karnaval telah lama menjadi bagian dari ekspresi budaya masyarakat Indonesia. Ia tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi ruang interaksi sosial, ajang pelestarian tradisi, sekaligus sarana memperkuat identitas kebersamaan.
Namun, dalam praktiknya, penyelenggaraan karnaval membutuhkan pengaturan yang bijak agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat luas.
Fenomena karnaval malam hari di Kabupaten Lumajang, misalnya, memperlihatkan dua sisi yang kontras. Di satu sisi, acara tersebut membangkitkan semangat kebersamaan dan memberi ruang kreativitas. Di sisi lain, ia memunculkan persoalan serius: kemacetan lalu lintas, terganggunya aktivitas ekonomi malam hari, hingga keresahan warga akibat kebisingan yang berlangsung hingga larut malam.
Secara sosiologis, masyarakat Indonesia dikenal dengan budaya gotong royong dan toleransinya yang tinggi. Namun, nilai-nilai itu bisa terganggu apabila kegiatan publik justru menimbulkan ketidaknyamanan kolektif. Ketika anak-anak kehilangan waktu istirahat, lansia dan orang sakit terganggu kesehatannya, bahkan akses darurat ke rumah sakit terhambat, maka kegiatan yang seharusnya menjadi hiburan justru berubah menjadi beban sosial.
Dari perspektif budaya, karnaval sejatinya adalah ruang gembira bersama yang sebaiknya dilaksanakan pada waktu yang tepat. Tradisi pesta rakyat di Nusantara umumnya digelar pada siang hingga sore hari, saat masyarakat bisa hadir dengan aman, nyaman, dan tanpa mengganggu ketertiban umum.
Karena itu, penyelenggara karnaval perlu menimbang kembali aspek waktu dan teknis pelaksanaan. Dengan pengelolaan yang tepat, karnaval tetap bisa menjadi pesta rakyat yang menggembirakan tanpa mengorbankan hak masyarakat lain untuk beristirahat, bekerja, maupun memperoleh pelayanan darurat.
Hiburan memang penting dalam kehidupan sosial. Namun, dalam kultur Indonesia, hiburan yang ideal adalah hiburan yang membawa maslahat, menumbuhkan persaudaraan, serta tidak meninggalkan keresahan.
Karnaval malam seharusnya menjadi momentum refleksi, agar pesta budaya ini kembali pada makna sejatinya: ruang kebersamaan yang menghadirkan kebaikan bagi seluruh warga.
Oleh: Muhammad Khoirul Anam, S.H.
(Pemerhati Sosial, Budaya, dan Politik)