Hidup di Era Netizenisasi: Ketika Benar dan Salah Semakin Relatif

TROBOS.CO | Opini Kita hidup di masa yang disebut banyak pengamat sebagai era netizenisasi — zaman ketika setiap orang bukan hanya menjadi penikmat informasi, tetapi juga produsen dan penyebar opini.

Internet dan media sosial telah mengubah cara manusia memahami realitas. Dahulu, kebenaran hanya disampaikan oleh lembaga resmi seperti media arus utama, pemerintah, akademisi, atau ulama. Kini, satu unggahan individu di platform digital bisa menandingi otoritas mereka. Akibatnya, batas antara benar dan salah semakin kabur.

Kebenaran yang Ditentukan oleh Popularitas

Jika dulu kebenaran berpijak pada bukti, kini ia sering bergantung pada popularitas dan emosi. Sebuah informasi dianggap benar bukan karena validitasnya, melainkan karena disukai, dibagikan, dan viral.
Fenomena ini dikenal sebagai era post-truth — kondisi ketika emosi dan keyakinan pribadi lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan fakta objektif.

Dalam dunia politik, perdebatan publik kini lebih sering diwarnai sentimen emosional daripada data faktual. Dalam bidang agama, tafsir dan pandangan teologis terbuka lebar di ruang digital tanpa landasan ilmiah yang jelas. Bahkan dalam ranah pribadi, manusia modern lebih menilai seseorang dari citra digitalnya ketimbang integritas sejatinya.

Relativisme dan Polarisasi Sosial

Kondisi ini melahirkan masyarakat yang terpolarisasi. Satu kelompok merasa paling benar, sementara kelompok lain dianggap salah. Padahal, kebenaran yang tampak di dunia digital sering kali hanyalah potongan dari realitas yang lebih luas.
Inilah bentuk baru dari relativisme, ketika setiap pihak memiliki versinya sendiri tentang kebenaran dan mengabaikan konteks besar yang melingkupinya.

Namun, era netizenisasi tidak sepenuhnya buruk. Ia juga membawa nilai positif seperti keterbukaan, partisipasi, dan kesetaraan suara. Yang berbahaya adalah ketika kebebasan berpendapat tidak diimbangi dengan kedewasaan berpikir dan literasi digital.

Tabayyun: Etika Klasik untuk Dunia Digital

Dalam konteks ini, Al-Qur’an jauh hari telah memberikan panduan penting melalui prinsip tabayyun — verifikasi informasi sebelum menyimpulkan atau bertindak.

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Ayat ini menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam menerima dan menyebarkan informasi.
Setiap klik, komentar, dan unggahan memiliki dampak sosial — bisa memperkuat persaudaraan, atau sebaliknya, memecah belah masyarakat bila dilakukan tanpa dasar kebenaran.

Menjaga Integritas di Tengah Bisingnya Dunia Digital

Kebenaran sejati tidak lahir dari banyaknya pengikut atau tanda suka di media sosial. Ia tumbuh dari kejujuran berpikir, keberanian mengakui kesalahan, dan kesediaan mencari bukti.

Hidup di era netizenisasi berarti siap menghadapi perbedaan, namun juga siap menjaga integritas. Sebab di tengah derasnya arus relativisme digital, yang paling berharga bukan siapa yang paling benar, melainkan siapa yang tetap berpegang pada kebenaran meski tidak selalu disukai.

Oleh: Muhammad Khoirul Anam, S.H. — Pemerhati Sosial, Budaya, dan Politik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *