Apakah kita sudah kaya? Dan seberapa besar takaran uang atau aset hingga seseorang bisa disebut kaya? Jika ukurannya puluhan atau ratusan miliar, berarti banyak orang di sekitar kita masuk dalam kategori tersebut. Namun, apakah kekayaan itu berbanding lurus dengan ketenangan?
Saya pernah diundang untuk memberi tausiah di sebuah bank swasta. Pemiliknya, seorang dengan aset ratusan miliar, memberi sambutan tak lebih dari lima menit. Ia hanya bertanya pada karyawannya, “Kalian ingin sukses? Ingin kaya?” Setelah dijawab serempak, ia berkata setengah memerintah, “Kerja keras.” Titik. Lalu ia duduk kembali.
Saat saya bertanya mengapa sambutannya begitu singkat, ia menjawab enteng, “Cukup. Yang bicara panjang nanti Pak Suharyo saja.” Dari sana saya merenung: jangan-jangan, semakin banyak uang seseorang, semakin sedikit yang perlu ia bicarakan.
Pengalaman lain datang dari seorang teman, pengusaha dengan aset puluhan miliar. Anehnya, setiap kali bertemu, yang ia bicarakan adalah rencananya untuk berutang lagi ke bank. Ini menunjukkan sebuah paradoks: banyak orang kaya justru hidupnya akrab dengan utang, cemas dengan target, dan terus-menerus memburu lebih banyak lagi. Kekayaan mereka seolah hanya tampak di permukaan.
Belajar dari Pendonor Terbesar Dunia
Lalu, di manakah letak ketenangan sejati? Mungkin kita bisa belajar dari kisah yang pernah dilansir Himpuhnews tentang Sulaiman bin Abdul Aziz Al Rajhi, seorang miliarder Arab Saudi yang dikenal sebagai salah satu pendonor terbesar di dunia.
Di usianya yang ke-95, Sulaiman Al Rajhi mengumpulkan anak-anaknya dan mengumumkan sebuah keputusan luar biasa: ia menyumbangkan dua pertiga dari seluruh kekayaannya untuk amal. Hanya sepertiga yang ia wariskan untuk keluarganya.
Alasannya sederhana. Ia mengaku “lelah”. Lelah karena dari bangun tidur hingga akan terlelap lagi, pikirannya disibukkan oleh urusan menghitung dan mengelola harta. Akhirnya, ia melepaskan hampir semua kekayaannya dan hanya menyisakan sedikit untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Kisah ini mengajarkan sebuah hikmah mendalam. Jika seseorang sudah mencapai puncak kekayaan sejati, ia justru akan merasa lelah memiliki terlalu banyak harta. Sebaliknya, jika ada orang yang terus-menerus memburu uang meski hartanya sudah melimpah, boleh jadi ia sebenarnya belum “kaya” secara batiniah.
Maka, janganlah sibuk memburu harta hingga lupa hakikatnya. Semakin deras keringat kita untuk mengejarnya, semakin kering pula rasa syukur di dalam hati. Kembalikanlah hakikat harta kepada Pemiliknya yang sejati, agar hidup menjadi tenang dan kita bisa tersenyum damai saat meninggalkan dunia ini.