TNI Benteng Penjaga Kedaulatan NKRI: Antara Tugas Konstitusional dan Tantangan di Papua

TROBOS.CO | Tidak ada bangsa yang berdaulat tanpa militer yang kuat. Sejak berdirinya Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi penjaga utama kedaulatan negara — garda terdepan yang memastikan merah putih tetap berkibar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote.

Dalam setiap masa genting, TNI selalu hadir. Dari penumpasan pemberontakan di masa awal kemerdekaan hingga menjaga keutuhan wilayah di tengah ancaman separatisme modern. TNI bukan sekadar pasukan bersenjata, melainkan roh kedaulatan itu sendiri — pengawal eksistensi negara di hadapan dunia.

Di tengah pengorbanan para prajurit, muncul pihak-pihak yang meminta agar langkah TNI dibatasi. Salah satunya adalah Komnas HAM yang beberapa kali menyerukan penarikan pasukan TNI dari Papua — wilayah yang hingga kini masih bergejolak akibat aksi kelompok separatis bersenjata (KKB).

Papua bukan wilayah biasa. Di sana, negara menghadapi ancaman nyata dari kelompok separatis bersenjata yang kerap menyerang aparat, warga sipil, tenaga kesehatan, dan guru. Banyak di antara korban gugur tanpa sempat disebutkan namanya di layar televisi.

Lalu, bagaimana mungkin pasukan TNI ditarik dari wilayah seperti itu? Bukankah itu sama saja membiarkan rakyat hidup tanpa perlindungan negara?

Permintaan agar TNI mundur dari Papua tidak hanya tidak realistis, tetapi juga berpotensi melemahkan kedaulatan nasional. Kehadiran TNI di Papua adalah simbol kehadiran negara — bukan kekerasan, melainkan perlindungan.

Konstitusi sudah sangat jelas.
Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 menegaskan: “TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.”

Penugasan TNI di Papua bukan kebijakan politik semata, melainkan amanat konstitusi.
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, pernah menegaskan:

“Keselamatan suatu bangsa harus dijamin oleh pertahanannya sendiri. Sejarah mengajarkan bahwa bangsa yang tidak mau berinvestasi terhadap pertahanannya, biasanya kehilangan kemerdekaan dan menjadi bangsa budak.”

Kedaulatan tidak bisa dinegosiasikan. Negara yang ragu mempertahankan dirinya akan kehilangan kehormatan dan dikendalikan oleh kepentingan asing.

Komnas HAM berperan penting dalam menjaga nilai kemanusiaan. Namun, hak asasi manusia tidak akan tegak tanpa keamanan nasional.
Ketika Komnas HAM menyerukan penarikan pasukan tanpa mempertimbangkan realitas lapangan, hal itu justru menciptakan ruang aman bagi kelompok separatis memperluas pengaruhnya.

Pandangan seperti itu bukan membela HAM rakyat Papua, melainkan mengorbankan mereka di bawah bayang-bayang teror KKB. Komnas HAM seharusnya menjadi pengawas yang konstruktif, bukan penghambat pertahanan negara.

Jenderal Besar Soedirman pernah berpesan: “Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini.”

TNI bukan lembaga yang anti kritik. Selama dua dekade terakhir, TNI terus melakukan reformasi internal — dari penerapan aturan pelibatan, pelatihan penghormatan HAM, hingga mekanisme akuntabilitas.

Namun, harus dipahami bahwa medan tugas di Papua sangat berbeda. Situasi darurat keamanan menuntut ketegasan dan kecepatan. Karena itu, yang dibutuhkan bukan penarikan pasukan, tetapi sinergi antara Komnas HAM dan TNI.

HAM dan pertahanan bukan dua kutub yang bertentangan. Tanpa keamanan, tidak ada HAM; tanpa penghormatan HAM, keamanan pun takkan bertahan lama.

Dunia menghormati bangsa yang kuat menjaga kedaulatannya.
Sebaliknya, bangsa yang ragu terhadap militernya sendiri akan runtuh dari dalam.

TNI adalah benteng terakhir bangsa — datang dari rakyat, dilatih untuk rakyat, dan bertempur demi rakyat.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan: “Kita cinta damai, tapi kita lebih cinta kemerdekaan.”

Kedamaian tanpa kedaulatan hanyalah mimpi kosong.

Menegakkan HAM adalah kewajiban, menjaga kedaulatan adalah keniscayaan.
Jika negara menarik tentaranya dari wilayah yang masih menghadapi ancaman separatisme, maka yang pertama menderita adalah rakyat sipil.

Komnas HAM sebaiknya meninjau ulang pernyataannya agar berpijak pada realitas dan semangat kebangsaan.
TNI tidak boleh mundur selangkah pun dalam menjaga keutuhan NKRI.

Dari Sabang sampai Merauke, dari Papua hingga Aceh — selama merah putih berkibar, suara rakyat akan tetap sama:

NKRI harga mati. TNI tetap di hati.

Oleh: Muhammad Khoirul Anam, S.H.
(Pemerhati Sosial, Budaya, dan Politik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *