Tak Ada Anak Bodoh, yang Ada Belum Menemukan Metode yang Tepat

trobos.co – Seorang pelajar merasa putus asa. Ia beranggapan otaknya “kethul” — belajar terus-menerus tetapi tidak juga paham, seolah-olah semua ilmu tak bisa masuk. Dalam keputusasaan itu, ia menyimpulkan bahwa dirinya bodoh. “Percuma belajar, tidak akan pernah bisa. Lebih baik berhenti saja,” begitu pikirnya.

Dengan perasaan hampa, ia pun pulang dan kabur dari kos-kosan. Qodarullah, di tengah perjalanan langit mendung, gelap, lalu hujan deras turun disertai petir menyambar-nyambar. Ia terpaksa menepi dan berteduh di sebuah gubuk tua.

banner 336x280

Sambil menunggu hujan reda, matanya tertuju pada tetesan air dari genting yang jatuh menimpa batu besar. Lama-kelamaan, tetesan itu membentuk cekungan pada batu. Ia tertegun. “Kalau batu yang keras saja bisa berlubang karena tetesan air, apalagi otak manusia yang punya triliunan saraf? Jika terus-menerus diberi tetesan ilmu, tentu akan lebih dahsyat hasilnya.”

Sejenak ia merenung. Allah tidak pernah menciptakan hamba-Nya bodoh. Yang ada hanyalah orang yang belum menemukan metode belajar yang tepat, atau kurang sabar dan tekun. Mungkin juga karena waktunya belum sampai. “Kalau begitu, saya tidak boleh menyerah. Saya harus kembali belajar. Allah Maha Kuasa untuk menjadikan otak yang bebal menjadi cerdas dan paham,” batinnya.

Empat Golongan Menurut Imam al-Ghazali

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa manusia dalam hal kecerdasan terbagi menjadi empat golongan:

  1. Orang yang tahu, dan tahu bahwa dirinya tahu.
    Inilah golongan alim. Biasanya mereka bijaksana, menjaga keselarasan antara ilmu dan amal. Dunia sangat membutuhkan orang alim yang mau berbagi pengetahuan kepada yang belum tahu.

  2. Orang yang tahu, tetapi tidak sadar bahwa dirinya tahu.
    Mereka seperti orang tidur. Perlu dibangunkan agar menyadari kemampuan dirinya. Jika tidak, selamanya ia tidak akan menyadari potensi besar yang dimilikinya.

  3. Orang yang tidak tahu, tetapi tahu bahwa dirinya tidak tahu.
    Golongan ini lumayan, asalkan masih mau belajar. Namun sering kali orang tipe ini justru ngeyel, merasa benar meski salah, dan merasa hebat padahal kerdil.

  4. Orang yang tidak tahu, dan tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu.
    Inilah kondisi paling parah. Saat diberitahu, ia tersinggung. Saat dibiarkan, tidak ada perubahan. Ia istiqomah dalam ketidaktahuannya, selalu merasa benar dan menganggap orang lain salah.

Untuk golongan terakhir, biarlah waktu yang mengujinya. Sekolah sekalipun bisa terasa sia-sia jika hatinya menolak belajar. Jika dibiarkan, ia akan semakin terperangkap dalam kebodohannya. Hingga akhirnya ia sendiri yang harus menemukan jati dirinya. Oleh: Suharyo AP *

*) Penulis adalah pemerhati masalah sepele.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *