TROBOS.CO – Ada sebuah tanya sederhana dari seorang anak kepada ayahnya:
“Apa bedanya senyumku dengan senyummu, Ayah?”
Pertanyaan polos itu terdengar ringan, namun jawaban sang ayah mengguncang hati:
“Senyummu karena engkau bahagia, sedang senyumku ketika melihatmu bahagia.”
Senyum yang Berbeda Akar
Senyum anak adalah pancaran dari dalam dirinya — polos, jernih, lahir dari dunia kecil yang masih penuh warna. Ia bahagia karena mendapat apa yang ia inginkan, karena mainannya utuh, karena cita-citanya digenggam erat. Senyum anak adalah bunga yang mekar di taman masa kecilnya.
Sementara senyum orang tua lahir dari ruang yang lebih dalam. Senyum itu bukan semata hasil dari kebahagiaan diri, tetapi buah dari kebahagiaan orang lain: anak-anaknya.
Seorang ayah atau ibu bisa menahan lapar, tetapi tetap tersenyum ketika anaknya kenyang. Mereka bisa menahan sakit, namun tetap lega ketika melihat anaknya tertawa.
Senyum orang tua adalah pelita di malam yang gelap. Ia menyala bukan karena minyak sendiri, melainkan karena ada cahaya kecil dari wajah sang anak.
Filosofi Kehidupan dalam Senyum
Inilah filosofi kehidupan:
-
Anak menaruh dirinya di pusat kebahagiaan.
-
Orang tua menaruh kebahagiaan anak di pusat hidupnya.
Senyum anak adalah ego yang murni, sementara senyum orang tua adalah cinta yang murni. Anak tersenyum karena “aku bahagia”, sedangkan orang tua tersenyum karena “engkau bahagia”.
Di sini terlihat bahwa cinta orang tua adalah cinta tanpa syarat. Ia tidak meminta balasan, bahkan ketika anak abai, lupa, atau tidak peduli. Senyum orang tua tetap ada — kadang menyembunyikan luka, kadang menutupi tangis, namun selalu hadir. Cinta itu bukan kontrak, melainkan anugerah.
Dua Mata Air Kebahagiaan
Bayangkan ada dua mata air:
-
Mata air pertama adalah kebahagiaan anak. Ia jernih tapi kecil, hanya memancar untuk dirinya sendiri.
-
Mata air kedua adalah kebahagiaan orang tua. Ia lebih dalam, lebih luas, dan selalu mengalir ke sekitar, meski terkadang sumbernya hampir kering.
Orang tua ibarat pohon yang rela kehilangan daun demi memberi teduh. Mereka seperti lilin yang terbakar habis, rela sirna demi memberi cahaya untuk anak-anaknya.
Pesan dari Al-Qur’an
Al-Qur’an pun mengingatkan:
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (Al-Ahqaf: 15)
Ayat ini menegaskan bahwa betapapun besar pengorbanan orang tua, sering kali anak tetap lalai. Maka Allah-lah yang mengingatkan, agar anak sadar bahwa cinta orang tua tidak boleh disepelekan.
Penutup
Senyum anak adalah tanda ia gembira.
Senyum orang tua adalah tanda cinta yang tak terukur.
Senyum anak bisa pudar seiring usia, tetapi senyum orang tua akan tetap mekar, meski tubuh renta dan wajah penuh keriput. Sebab senyum orang tua bukan sekadar tarikan bibir, melainkan doa yang terlukis, pengorbanan yang termaknai, dan cinta yang tak pernah padam.
Jadi, ketika engkau melihat senyum orang tuamu, jangan hanya melihat bibir yang melengkung. Lihatlah doa yang sedang dipanjatkan, cinta yang sedang menetes, dan pengorbanan yang diam-diam mereka sembunyikan.
Cak Muhid, Penulis 4 buku seri perjalanan jiwa spiritual, tinggal di Mojokerto.