TROBOS.CO | Lumajang – Bilal bin Rabah, sahabat Rasulullah SAW, dikenal sebagai muazin pertama dalam sejarah Islam. Setiap kali mengumandangkan azan, ia menaiki rumah warga yang paling tinggi agar suaranya terdengar ke seluruh penjuru kota. Suaranya yang merdu dihembus angin, memanggil kaum Muslimin untuk datang ke masjid.
Tradisi serupa pernah hidup di Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan, di tengah kehidupan masyarakat yang sangat sederhana. Fasilitas ibadah kala itu masih terbatas. Masjid dan musala kecil, berdinding bambu, belum dilengkapi pengeras suara.
Untuk mengumandangkan azan, para muazin harus naik miari atau kaidan—tangga kayu panjang yang disambung agar mencapai ketinggian tertentu.
“Saya setiap waktu salat naik miari yang disambung dua. Satu miari tingginya sekitar 6–7 meter. Kalau disambung dua, bisa 12 sampai 14 meter—setinggi pohon kelapa,” kenang Bapak Untung Said, muazin berusia 95 tahun yang pernah melaksanakan tugas itu.
Di atas pohon mangga dekat masjid, dibuat gubuk kecil sebagai tempat muazin berdiri saat mengumandangkan azan. “Saya ditugaskan oleh Kyai Mingun untuk azan di atas pohon dekat masjid rumah beliau,” tutur Pak Untung.
Kyai Mingun adalah ayah dari almarhum KH Abdi Manab, dua sosok ulama kharismatik dan berpengaruh di Lumajang. Nama Kyai Mingun kini diabadikan menjadi nama yayasan pendidikan, yaitu Yayasan Kyai Mingun, yang menaungi Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Bagusari.
Beliau dikenal berani, tegas, dan sangat disiplin. Sifat itu pula yang diwarisi oleh KH Abdi Manab, murid sekaligus putra beliau yang dikenal alim dan berwibawa.
Mengumandangkan azan di masa penjajahan bukan hal mudah. Tentara Belanda dan Jepang kerap mencurigai aktivitas umat Islam, termasuk kegiatan di masjid.
Suatu ketika, tentara Belanda menyerang masjid Kyai Mingun di Bagusari. Masjid itu sederhana, berdinding bambu. “Tentara Belanda menembaki dinding masjid, tapi anehnya pelurunya tidak tembus,” kata Pak Untung.
Saat itu, Kyai Mingun dengan tenang berkata, “Diam semua. Jangan bergerak. Ini urusan saya.” Ia kemudian mendekati pimpinan pasukan Belanda dan menamparnya berulang kali. Anehnya, sang tentara tidak berani melawan.
Begitulah ketegasan seorang ulama di masa penjajahan—berani, tetapi tetap menjaga wibawa dan ketenangan.
Selama masa itu, Pak Untung menjalankan tugasnya dengan penuh istiqamah. Ia tetap mengumandangkan azan dari atas pohon mangga setiap waktu salat, meski tanpa pengeras suara dan perlengkapan modern.
Tangga kayu yang digunakan disebut miari, dalam bahasa Jawa dikenal juga sebagai ondo. Meski harus memanjat tinggi dan berisiko, tugas itu dijalani dengan penuh dedikasi.
Masyarakat sekitar masjid selalu mendengar panggilan azan dari arah pohon mangga dan segera bergegas menuju masjid untuk berjamaah.
Kini di usianya yang ke-95 tahun, Pak Untung tidak lagi azan di Bagusari. Sesekali ia masih mengumandangkan azan di Masjid Jenderal Sudirman, Jalan Brantas, Lumajang.
Meski sepuh, suaranya tetap lantang, fisiknya sehat, penglihatan dan pendengarannya masih tajam. Semoga amal kebaikannya menjadi pahala jariyah yang tak terputus.
Suharyo | TROBOS.CO







