trobos.co – Pada awal era 1980-an, wartawan di Lumajang rata-rata sudah berusia lanjut. Sebagian besar usianya di atas 50 tahun.
Yang masih saya ingat, ada nama Pak Subur (hampir 60 tahun), Pak Said Admoni (55 tahun), Pak Ridwan (55 tahun), Pak Sukardi (60 tahun), dan Pak H. Santoso (50 tahun). Beberapa nama lain sudah terlupa. Dari sekian banyak wartawan, hanya saya dan Subur yang masih berusia muda atau remaja. Empat tahun kemudian, barulah menyusul generasi berikutnya seperti Mas Suharyo AP, Mas Romdhon, dan seterusnya.
Jumlah wartawan pada masa itu memang masih sangat sedikit. Di Lumajang hanya berkisar 7–9 orang. Bandingkan dengan sekarang, jumlahnya bisa mencapai 200 orang. Tidak heran jika menjadi wartawan kala itu cukup disegani.
Media juga terbatas, belum ada media online seperti saat ini. Honor wartawan pun sangat bervariasi, tergantung besar kecilnya media. Media besar seperti Jawa Pos, Surabaya Post, Kompas, atau Merdeka memberi honor relatif besar. Namun media kecil, apalagi lokal, seringkali tidak memberi honor sama sekali. Cukup puas dan bangga jika tulisan dimuat. Saya sendiri pernah menjadi wartawan di Derap Pembangunan (terbit di Jember) selama tiga tahun tanpa menerima honor sepeser pun—dan tetap merasa bangga karena berita saya dimuat.
Sebagian besar wartawan kala itu memiliki pekerjaan sampingan, misalnya sebagai pegawai pemerintah (PNS) atau karyawan BUMN/BUMD. Menjadi wartawan lebih banyak dijadikan status sosial ketimbang profesi utama.
Tentu ada suka duka dalam menjalani profesi ini. Status sosial membuat wartawan dihormati masyarakat, memiliki jaringan luas, mulai dari rakyat kecil hingga pejabat tinggi. Profesi ini juga menambah wawasan sekaligus melatih keterampilan berkomunikasi.
Namun dukanya tidak sedikit. Terutama ketika mendapat tugas meliput berita di daerah terpencil, atau harus menghadapi narasumber yang sulit ditemui—galak, angkuh, atau pelit bicara. Lebih berat lagi jika berita yang diliput menyangkut kasus besar. Meski demikian, semua jerih payah itu terbayar lunas ketika berhasil menulis berita besar yang akhirnya dimuat. Rasanya luar biasa.
Pada hakikatnya, menjadi wartawan adalah panggilan jiwa. Sebuah hobi, tantangan, sekaligus pertaruhan idealisme dan cinta terhadap kebenaran. Wartawan harus berpihak pada kebenaran, berpihak pada kepentingan masyarakat, bukan pada penguasa atau siapa pun yang mampu membayar.
Karena itu, pijakan wartawan dalam melaksanakan tugas adalah profesionalisme, idealisme, Undang-Undang Pers, Kode Etik Jurnalistik, serta berbagai peraturan hukum lain yang relevan. Kini, rambu-rambu pers semakin banyak dan variatif. Semua itu wajib dihormati dan ditaati. Wartawan tidak seharusnya bangga karena dipuja atau ditakuti, tetapi karena mampu menjaga marwah profesinya.
Penulis : Shodiq Syarief MSi (Mantan wartawan Jawa pos)