TROBOS.CO | Kata “tangan kasar” sering dikonotasikan negatif — seolah berarti tukang pukul. Padahal bukan demikian.
Yang dimaksud tangan kasar adalah telapak tangan yang menjadi keras karena kerja berat, banting tulang, dan keringat demi mencari rezeki halal.
Orang yang tangannya kasar terkadang merasa minder ketika berjabat tangan, apalagi dengan Rasulullah SAW, karena malu jika kondisi tangannya diketahui.
Dikisahkan pada zaman Nabi, ada seorang pemuda yang tampak ragu untuk berjabat tangan dengan Rasulullah.
Setiap kali Rasulullah mengulurkan tangan, pemuda itu menariknya kembali hingga tiga kali.
“Ada apa tanganmu engkau tarik?” tanya Rasulullah.
“Malu, ya Rasulullah. Tangan saya kasar,” jawab sang pemuda.
“Mengapa tanganmu kasar?” tanya Nabi.
“Saya memecah batu besar lalu menjualnya agar dapat menafkahi keluarga,” ujarnya.
Mendengar pengakuan itu, Rasulullah memeluk pemuda tersebut dengan kasih sayang, seraya bersabda:
“Tangan yang kasar seperti ini dicintai oleh Allah.”
Pesan Rasulullah ini bukan hanya tentang kasarnya tangan secara fisik, melainkan juga tentang makna kerja keras — orang yang tekun bekerja dan berjuang menafkahi keluarganya adalah hamba yang dicintai Allah.
Ia tidak menggantungkan tangan pada orang lain, tidak berharap pemberian, dan tidak ingin waktu terbuang sia-sia.
Orang yang memiliki etos kerja tinggi justru merasa bahagia saat lelah karena usahanya berbuah hasil.
Dalam pandangan Islam, bekerja bukan sekadar mencari harta, tetapi juga bernilai ibadah.
Maka orang yang bekerja keras bukan hanya memperoleh rezeki, tetapi juga pahala akhirat.
Menurut Dr. Quraish Shihab, bekerja keras termasuk amal saleh. Allah menghendaki pekerjaan yang baik disertai keberhasilan, kebersamaan, dan semangat tolong-menolong — sebagaimana ajaran salat berjamaah yang mengingatkan kita untuk meluruskan dan merapatkan barisan.
Orang yang produktif akan merasa gelisah jika tidak bekerja. Hidup terasa hampa jika hanya berpangku tangan. Ia sadar bahwa Allah pun Maha Aktif, terus mencipta dan memelihara alam semesta tanpa henti.
Rasulullah sendiri memberi teladan nyata. Sejak kecil beliau menggembala kambing, lalu berdagang hingga usia muda, bahkan sudah menempuh perjalanan bisnis ke berbagai negeri sebelum usia 20 tahun. Setelah usia 40 tahun, beliau diangkat menjadi Rasulullah SAW.
Karena itu, di masa kini, malas bekerja berarti tidak meneladani Nabi. Dunia berpihak pada mereka yang rajin dan gigih.
Siapa yang ingin sukses, ingin kaya, ingin dihormati, bahkan ingin hidup bermakna — semua menuntut satu hal: kerja keras.
Orang yang bekerja keras dicintai Allah. Sebaliknya, orang yang malas sama saja menggali lubang untuk dirinya sendiri — dan lambat laun akan terperosok ke dalamnya.
Penulis: Suharyo – Pemerhati Masalah-Masalah Sepele







