Belajar Perspektif Hidup dari Kota Barrow, Tempat Siang dan Malam Bisa Berlangsung Berbulan-bulan

TROBOS.CO – Ada hal menarik dari sebuah kota di ujung utara bumi bernama Barrow, kini dikenal sebagai Utqiaġvik, Alaska. Di kota ini, fenomena pergantian siang dan malam tidak terjadi seperti di Indonesia.
Matahari tenggelam sekitar 18 November dan baru terbit kembali sekitar 23 Januari. Artinya, kota ini hidup dalam kegelapan selama kurang lebih 67 hari. Bahkan, ketika matahari tampak, posisinya tetap rendah di cakrawala bagian selatan—seolah tak pernah benar-benar naik tinggi.

Fenomena ini memberi pelajaran besar tentang perspektif kehidupan.

Di Indonesia, yang berada di garis khatulistiwa, kita terbiasa melihat matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat setelah melewati tepat di atas kepala. Pada waktu tertentu, bayangan tubuh bahkan lenyap karena matahari berada tepat di zenit.
Pergantian siang dan malam di sini begitu teratur, hampir selalu terbagi dalam 12 jam siang dan 12 jam malam.
Ketika terang, berarti pagi hingga sore. Ketika gelap, berarti malam hingga menjelang fajar.

Namun, semua itu hanyalah perspektif lokal, bukan kebenaran universal.

Di kota seperti Barrow, atau bahkan di Helsinki, Reykjavik, dan Longyearbyen, manusia harus beradaptasi dengan malam selama tiga bulan penuh atau siang yang tak pernah berakhir.
Bayangkan, jam biologis manusia yang terbiasa tidur 8 jam per hari harus menyesuaikan diri dengan kondisi ekstrem seperti itu.
Apakah artinya mereka salah dan kita benar? Tentu tidak. Kita hanya berbeda sudut pandang dan pengalaman.

Itulah sebabnya, penting untuk tidak memaksakan perspektif kita terhadap orang lain.
Karena setiap manusia tumbuh, belajar, dan melihat dunia dari konteksnya masing-masing.

Perspektif adalah hasil dari tempat berpijak dan pengalaman hidup.
Objek yang sama bisa tampak berbeda jika dilihat dari posisi yang berlainan. Maka, belajarlah sebanyak mungkin, dan jelajahilah dunia sejauh mungkin, agar pandangan kita semakin luas dan tidak sempit.

Selama masih hidup di dunia, segala sesuatu bersifat nisbi, tidak mutlak.
Baru ketika manusia melampaui batas materi dan ego, mungkin ia bisa melihat kebenaran dari sisi yang hakiki.

Teguh Wahyu Utomo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *