Pasca-Musibah Al Khoziny, Bagaimana Memastikan Keamanan Struktur 42 Ribu Pesantren di Indonesia?

TROBOS.CO | Musibah ambruknya bangunan di Pesantren Al Khoziny, 29 September 2025, adalah tamparan keras bagi kita semua. Sebagai alumni Teknik Sipil ITB yang sejak 1992 telah blusukan ke berbagai pesantren, hati saya campur aduk. Di satu sisi, ada ikatan batin dengan dunia pesantren. Di sisi lain, ada keprihatinan mendalam bahwa kyai, asatidz, dan santri harus menghadapi hukum alam struktur bangunan yang seharusnya menjadi tanggung jawab ahlinya.

Dalam perspektif teknik sipil, musibah kegagalan konstruksi bukan semata takdir. Ia biasanya terjadi akibat rangkaian kelalaian: perencanaan yang asal-asalan, material yang dikurangi, pengawasan yang lemah, atau kesombongan teknis karena merasa “sudah ahli”. Padahal, dalam standar proyek modern, targetnya adalah zero accident.

banner 1280x716

Evaluasi menyeluruh pascamusibah justru menjadi kunci perbaikan. Seperti di proyek-proyek ketat, investigasi mendalam oleh tim ahli mutlak diperlukan untuk memastikan kesalahan yang sama tidak terulang.

Data dari Menteri PU (Republika, 8/10/2025) mencengangkan: dari 42.433 pesantren di Indonesia, hanya 51 (atau 0,12%) yang mengantongi Persetujuan Bangun Gedung (PBG). Angka ini bukan tentang penerimaan daerah, tapi tentang potensi ribuan bangunan berisiko yang mengancam nyawa penghuninya.

Ada beberapa kemungkinan di balik rendahnya angka PBG ini:

  1. Pesantren sebenarnya menggunakan jasa konsultan/kontraktor profesional, tetapi enggan mengurus PBG karena biaya dan waktu yang lama.
  2. Pesantren memakai jasa mandor lokal yang dibantu ahli sipil individu.
  3. Pesantren menggunakan drafter berpengalaman yang paham standar.

Jika tiga kemungkinan ini benar, proses audit teknis akan lebih cepat karena tinggal memeriksa dokumen yang ada. Namun, jika yang terjadi adalah pesantren membangun tanpa dokumen teknis dan standar yang memadai, maka tim pemeriksa harus bekerja ekstra. Langkah-langkahnya kompleks:

  • Menggambar ulang dimensi struktur existing
  • Menggali informasi material dan pondasi dari pengurus/santri
  • Memperkirakan detail tulangan besi
  • Melakukan test kekuatan beton
  • Pemodelan struktur dengan software seperti SAP2000

Dari analisis ini, akan keluar rekomendasi: apakah bangunan aman, perlu perkuatan, atau harus dibongkar. Dengan jumlah pesantren yang sangat besar, prioritas mutlak diperlukan. Pemerintah telah menyatakan akan memprioritaskan bangunan berlantai dua atau lebih. Namun, data pasti tentang ini masih terbatas.

Untuk mempercepat pendataan, ormas-ormas Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah bisa dilibatkan dengan menggunakan tools sederhana seperti Google Form atau WhatsApp. Kriteria prioritas juga bisa diperluas ke pesantren yang:

  • Membangun secara swadaya tanpa panduan teknis
  • Melakukan perluasan/penambahan lantai tanpa perhitungan

Menyelesaikan masalah sebesar ini butuh sinergi banyak pihak:

  • Perusahaan: Mengalokasikan program CSR untuk audit dan perbaikan struktur.
  • Konsultan & Kontraktor: Menyumbangkan tenaga ahli untuk memeriksa pesantren.
  • Perguruan Tinggi: Memobilisasi jurusan teknik sipil di seluruh Indonesia untuk memeriksa pesantren terdekat.
  • Pemerintah: Mempercepat pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren yang bisa menangani masalah ini secara berkelanjutan.

Dengan pendekatan sistematis, kita bisa membangun ekosistem yang jelas. Pesantren yang ingin membangun atau memeriksa bangunannya tahu harus kemana. Bantuan teknis, pendanaan, dan pengawasan dapat berjalan terstruktur, bukan sekadar aksi sporadis yang hangat-hangat tahi ayam.

Oleh: Syahrial Muharam

Penulis adalah Alumni Teknik Sipil ITB dan penulis buku “The Art of Leadership in Managing Construction Project”.

banner 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *