TROBOS.CO – Nama Mohammad Natsir tidak bisa dilepaskan dari sejarah pemikiran Islam dan kebangsaan Indonesia. Beliau bukan sekadar politisi atau Perdana Menteri, melainkan seorang pemikir, pendidik, dan da’i ulung yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk menyalakan obor dakwah.
Lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, pada tahun 1908, Natsir tumbuh dalam tradisi keislaman yang kokoh sekaligus terbuka pada modernitas. Dari pergulatan hidup dan zamannya, ia merumuskan gagasan fundamental: Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan sistem nilai yang utuh — menjadi fondasi moral, sosial, dan politik dalam membangun bangsa.
Islam dan Negara dalam Pandangan Natsir
Salah satu puncak pemikiran Natsir adalah pandangannya mengenai relasi Islam dan negara. Baginya, Islam dan kebangsaan tidak bertentangan. Justru, Islam menyediakan landasan etik dan spiritual untuk mewujudkan negara yang adil serta sejahtera.
Dalam pidatonya di Sidang Konstituante tahun 1957, Natsir menegaskan:
“Islam bukanlah agama yang hanya mengurus sembahyang dan ibadah mahdhah. Melainkan agama yang lengkap, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya.”
Pandangan ini menegaskan bahwa Islam dan politik harus berjalan beriringan, saling melengkapi demi tegaknya keadilan.
Dakwah Melalui Pena dan Pendidikan
Selain memperjuangkan pemikiran politik Islam, Natsir sangat menekankan pentingnya pendidikan dan dakwah. Ia produktif menulis, dengan lebih dari 45 buku serta ratusan artikel sejak 1929.
Bagi Natsir, tulisan adalah medium dakwah yang ampuh. Ia meyakini bahwa “pena lebih tajam dari pedang” — mampu menembus pikiran, menyentuh hati, serta membentuk kesadaran umat. Salah satu pesannya berbunyi:
“Dakwah tidak boleh berhenti pada ceramah. Ia harus masuk ke sekolah, ke media, ke masyarakat, agar Islam benar-benar hadir sebagai rahmat bagi semesta alam.”
Lahirnya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
Dari keyakinan itulah, pada tahun 1967, Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Lembaga ini lahir sebagai jawaban atas kebutuhan umat akan wadah dakwah yang terorganisir, independen, dan berorientasi jangka panjang.
Bagi Natsir, politik hanyalah salah satu wasilah, sementara dakwah adalah jalan abadi. Melalui DDII, ia ingin memastikan syiar Islam tidak hanya bergema di kota-kota besar, tetapi juga menjangkau pelosok desa, daerah terpencil, hingga komunitas minoritas Muslim.
Sejak berdiri, DDII melaksanakan berbagai program nyata: pengiriman da’i ke pedalaman, pembangunan masjid dan madrasah, pemberian beasiswa pendidikan Islam, hingga penerbitan media dakwah. Semua ini berpijak pada tekad bahwa kebangkitan umat hanya dapat dicapai melalui pendidikan yang berkualitas, dakwah yang mencerahkan, dan penguatan akidah.
Semangat yang Terus Hidup
Lebih dari setengah abad kemudian, semangat DDII tetap berkobar. Kini lembaga ini hadir di berbagai daerah, termasuk Kabupaten Lumajang, dengan gerakan yang terus beradaptasi terhadap tantangan zaman. Mulai dari pengkaderan dan sertifikasi da’i muda, hingga pemanfaatan media digital sebagai sarana syiar Islam.
Warisan pemikiran M. Natsir hidup dalam setiap langkah DDII. Dakwah bukan sekadar aktivitas seremonial, melainkan kerja peradaban — membangun masyarakat dengan ilmu, keikhlasan, dan strategi yang matang.
Warisan Abadi
Pemikiran M. Natsir dan kiprah DDII memberi pelajaran bahwa membangun umat adalah tugas mulia yang menuntut kesabaran, visi, dan konsistensi. Tulisan-tulisannya tetap relevan hingga kini, seolah berbicara langsung kepada generasi sekarang: bahwa Islam tidak boleh dipisahkan dari denyut kehidupan bangsa.
Dengan semangat itu, generasi penerus di bawah panji DDII memiliki kewajiban untuk melanjutkan jejaknya, menjaga kemurnian dakwah, serta menyesuaikannya dengan dinamika zaman.
Dakwah adalah amanah, dan Natsir telah menunjukkan jalannya. Kini, tugas kita memastikan obor itu tetap menyala, menerangi jalan umat menuju kejayaan yang diridhai Allah SWT.
Oleh: Muhammad Khoirul Anam, S.H.
(Sekretaris PC Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Kec. Kunir, Kab. Lumajang)