TROBOS.CO, Lumajang – Jika Anda melewati jalan Lumajang–Tekung, tepatnya di Desa Tukum, Dusun Munder, coba belok ke Jalan Kyai Sukhaimi. Sekitar 100 meter dari jalan utama, berdiri sebuah bangunan tua yang gagah dan unik: Masjid Baiturrahman. Masjid ini menjadi bukti sejarah perjuangan dakwah Kyai Sukhaimi, ulama asal Trenggalek yang berkiprah di Lumajang sejak awal abad ke-19.
Bangunan masjid ini bukan sekadar menarik dari segi arsitektur, tetapi juga menyimpan cerita panjang perjuangan dan dakwah. Menurut penuturan ahli waris, masjid tersebut telah berdiri sejak 1819, menjadikannya salah satu masjid tertua di Kabupaten Lumajang.
Masjid Tua yang Kokoh
Bapak Mustofa, salah satu ahli waris Kyai Sukhaimi, mengungkapkan beberapa hal menarik:
-
Bangunan tertua di Lumajang. Masjid Baiturrahman dibangun pada masa kolonial Belanda dengan material pilihan yang membuatnya tetap kokoh hingga kini.
-
Renovasi terbatas. Meski berusia lebih dari dua abad, masjid ini hanya dua kali direnovasi, yaitu pada tahun 1923 dan 1943, jauh sebelum Indonesia merdeka. Genting, tiang, hingga lantai masjid masih asli dan kuat.
-
Peninggalan pesantren. Dahulu terdapat pesantren di sekitar masjid, namun kini bangunannya sudah tidak tersisa.
-
Barang kuno masih terawat. Pentongan kayu untuk penanda waktu salat masih ada dan berfungsi. Selain itu, Kyai Sukhaimi meninggalkan kitab beraksara Arab Pegon tanpa harakat, yang hingga kini tersimpan rapi di rumah Mustofa.
-
Peninggalan yang hilang. Beberapa barang bersejarah seperti baju Onto Kusumo, songkok merah, pusaka, dan tongkat khatib raib meski sempat disimpan dengan baik.
“Kitab-kitab peninggalan ini tetap saya simpan, walau sampulnya sudah rapuh. Saya berharap ada keturunan yang bisa mengembangkan ilmu dari kitab tersebut,” jelas Mustofa yang lahir tahun 1948.
Dari Dakwah ke Regenerasi
Masjid yang awalnya belum bernama kemudian diberi nama Baiturrahman oleh generasi penerus agar memiliki identitas. Pengelolaan masjid pun mengalami beberapa kali regenerasi, dari Kyai Khusaini, Kyai Narto, Kyai Mursyid, Kyai Sudja’, hingga kini dikelola oleh takmir masyarakat.
Kyai Sukhaemi sendiri datang ke Lumajang atas tugas gurunya di Trenggalek untuk berdakwah. Ia memiliki dua anak perempuan. Satu di antaranya wafat muda, sedangkan yang lain, Nyai Aisyah, menetap di Glenmore, Banyuwangi, sebagai istri Kyai Salim.
Lebih dari sekadar bangunan ibadah, Masjid Baiturrahman adalah saksi sejarah dakwah, pendidikan, dan perjuangan umat Islam di Lumajang. Hingga kini, masjid itu tetap berdiri kokoh sebagai pusat kegiatan keagamaan dan simbol warisan dakwah Kyai Sukhaimi.
(Suharyo/TROBOS.CO)