TROBOS.CO – Jalan Sunnah adalah jalan yang indah. Di jalan itu, tidak ada yang suka meributkan khilafiyah furu’iyyah. Tidak ada pula yang merasa perlu menonjolkan perbedaan dengan orang lain. Justru, yang ada adalah sikap saling menghargai dan menjaga harmoni.
Menjaga Harmoni
Empat Imam Mazhab besar dalam Islam—Imam Hanafi (80–150 H), Imam Malik (93–179 H), Imam Syafi’i (150–204 H), dan Imam Hanbali (164–241 H)—menjadi pedoman bagi umat. Kaum Muslimin boleh mengikuti salah satunya, sambil tetap menghormati yang bermazhab berbeda.
Perbedaan yang ada hanyalah pada ranah furu’iyyah (cabang), bukan pokok agama. Maka, menjaga hati dan sikap saling menghargai adalah kunci terciptanya harmoni di tengah masyarakat.
Sikap bijak ini telah dicontohkan para ulama. Di Baghdad, misalnya, Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadits tentang shalat sunnah qabliyah Maghrib dan menilai hadits itu shahih. Namun, beliau tidak mengamalkannya secara terbuka, karena penduduk Baghdad saat itu telah mengikuti pendapat Imam Hanafi yang menyatakan tidak ada shalat sunnah sebelum Maghrib. Imam Ahmad lebih memilih menjaga ketentraman masyarakat daripada menimbulkan keributan.
Ibnu Taimiyah (661–728 H) juga meneladankan hal serupa. Perbedaan tentang bacaan basmalah dalam shalat—dikeraskan atau dilirihkan—menjadi contoh nyata. Menurutnya, jika seorang imam terbiasa melirihkan bacaan basmalah, tetapi ia mengimami makmum yang meyakini sebaliknya, maka sebaiknya imam itu mengeraskan bacaan demi menjaga kebersamaan.
Hamka dan Sahabat
Di Indonesia, teladan serupa juga diperlihatkan Buya Hamka (1908–1981). Dalam hal qunut Subuh, misalnya, Buya Hamka yang dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah, pernah menjadi imam bagi KH Idham Chalid (tokoh NU). Pada rakaat kedua, Buya Hamka membaca doa qunut—sesuatu yang jarang beliau lakukan—demi menjaga ketenteraman hati sahabatnya.
Contoh lain terjadi di Masjid Al-Azhar Jakarta Selatan. Suatu Jumat, KH Abdullah Syafi’i hadir sebagai tamu. Hamka memintanya menjadi khatib, dan adzan Jumat pun dikumandangkan dua kali, berbeda dari kebiasaan masjid itu yang biasanya hanya sekali. Hal ini dilakukan semata-mata sebagai penghormatan terhadap keyakinan tamunya.
Bisa Mudah
Sikap lapang para ulama juga tampak dalam urusan keseharian. Imam Ahmad pernah menegur seseorang yang mengenakan pakaian khas penduduk Mekkah di Baghdad. Menurutnya, pakaian tersebut bisa memunculkan rasa sombong dan menonjolkan diri di tengah masyarakat, padahal Rasulullah melarang pakaian yang dipakai untuk kebanggaan.
Ada pula kisah ringan dari Kufah, Irak. Seorang lelaki bertanya kepada Amir ibn Syurahbil Asy-Sya’bi, seorang ulama tabi’in, tentang arah menghadap ketika mandi di sungai: ke kiblat, membelakangi, atau menghindar dari keduanya? Sang ulama menjawab dengan bijak:
“Menghadaplah ke arah di mana engkau meletakkan pakaianmu, agar tidak hanyut atau diambil orang.”
Jawaban itu sederhana, mudah dipahami, dan tidak memberatkan. Pesannya jelas: praktik beragama seharusnya membawa kemudahan, bukan kesulitan.
Hidup Lapang dan Indah
Teladan para ulama menunjukkan bahwa hidup di Jalan Sunnah sejatinya membahagiakan. Tidak ada konflik yang dipicu perbedaan pendapat dalam hal-hal cabang, melainkan yang ada adalah kelapangan hati, rasa hormat, dan keindahan hidup.
Di Jalan Sunnah, hidup menjadi lapang, damai, dan penuh keindahan.
[Oleh M. Anwar Djaelani]