trobos.co, Lumajang – Untuk meningkatkan kualitas manajemen kemasjidan, Takmir Masjid Salman Al Farisi Lumajang akan mengadakan studi banding ke Takmir Masjid Jogokariyan, Yogyakarta.
Rombongan yang berjumlah sekitar 20 orang dijadwalkan berangkat pada Jumat sore pukul 16.00 dari Cahaya Alquran. “Tujuannya untuk belajar tentang manajemen kemasjidan,” ujar Ketua Takmir Salman Al Farisi, Ustadz Nur Hafidz.
Rencana tersebut telah dikoordinasikan dengan Takmir Masjid Jogokariyan, dan mereka siap menerima kedatangan tamu dari Lumajang.
Masjid Jogokariyan Jadi Rujukan
Alasan pemilihan Masjid Jogokariyan sebagai tujuan studi banding adalah karena masjid tersebut dikenal sukses dalam mengelola dan memakmurkan jamaah, sehingga menjadi percontohan nasional.
Menurut rundown kegiatan, sepulang dari Yogyakarta, rombongan asal Lumajang juga akan bersilaturahmi dengan Dewan Dakwah Solo. Kegiatan ini diharapkan memperkaya wawasan tentang aktivitas dakwah, sehingga Dewan Dakwah Lumajang dapat lebih dinamis dan istiqomah dalam melayani umat.
Kegiatan Masjid Salman Al Farisi

Masjid Salman Al Farisi sendiri tergolong masih relatif baru. Selain kegiatan ibadah rutin, masjid ini juga aktif mengadakan program sosial-keagamaan.
Di antaranya adalah Pengajian Sakinah yang digelar dua kali dalam sebulan dan diikuti sekitar 125–150 jamaah ibu-ibu. Selain itu, masjid ini juga pernah menyelenggarakan khitanan massal gratis untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu. Ke depan, akan ada kolaborasi dengan Dewan Dakwah Lumajang berupa pengajian dan kajian keagamaan untuk semakin memakmurkan masjid.
Sekilas Tentang Masjid Jogokariyan
Masjid Jogokariyan awalnya hanyalah sebuah langgar kecil di kampung pinggiran selatan Kota Yogyakarta. Kini, masjid tersebut dikenal luas karena kemampuannya membangun umat dan mensejahterakan masyarakat. Takmir masjid aktif melayani kebutuhan jamaah, mulai dari penyediaan beras, kegiatan makan bersama, hingga program kepedulian anak-anak.
Logo Masjid Jogokariyan terdiri dari tiga bahasa: Arab, Indonesia, dan Jawa. Hal ini melambangkan semangat menjadi muslim yang saleh tanpa kehilangan akar budaya.
Sejak didirikan pada 20 September 1966, para pendiri sepakat memberi nama “Masjid Jogokariyan” mengikuti sunnah Rasulullah SAW yang menamai masjid sesuai dengan nama kampungnya, seperti Masjid Quba di Madinah.
Dengan nama itu, masjid memiliki wilayah dakwah yang jelas sekaligus menjadi pemersatu umat berbasis kultur kampung Jogokariyan. Proses ishlah masyarakat pun dapat berlangsung melalui masjid, terutama pasca berakhirnya era Demokrasi Liberal yang berpuncak pada tragedi 30 September 1965.
(Sept/Trobos.co)