Trobos.co – Belakangan ini isu kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menjadi sorotan publik. Tidak hanya di kalangan elite politik, akademisi, maupun pemerhati sosial ekonomi, masyarakat umum pun ramai membicarakannya di warung kopi hingga grup-grup media sosial.
Fenomena ini wajar, sebab kenaikan pajak apa pun pasti menambah beban hidup masyarakat.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merilis data bahwa pada 2025, sebanyak 104 kabupaten/kota telah menaikkan tarif PBB-P2. Bahkan, 20 daerah di antaranya memberlakukan kenaikan di atas 100 persen, termasuk Kabupaten Pati yang kini tengah viral di berbagai media.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sumber pendapatan daerah berasal dari tiga pos utama: dana transfer dari pusat (TKD), pendapatan daerah lain yang sah, serta pendapatan asli daerah (PAD).
PAD sendiri diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil kekayaan daerah yang dipisahkan, serta pendapatan sah lainnya. Dari berbagai sumber PAD, PBB-P2 menjadi salah satu primadona karena potensinya yang besar dalam mendulang pemasukan daerah.
Namun, persoalan muncul karena kontribusi PAD terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih relatif kecil. Data Kemendagri menunjukkan rata-rata PAD hanya mampu menopang 13–23 persen dari APBD. Artinya, 77–87 persen sisanya masih bergantung pada TKD, pendapatan lain yang sah, atau bahkan pinjaman daerah.
Janji Politik dan Beban Fiskal
Sistem pilkada langsung juga memicu banyak janji politik yang harus diwujudkan dalam APBD. Hal ini kerap membuat belanja daerah membengkak, sementara pendapatan terbatas. Ibarat lebih besar pasak daripada tiang.
Kondisi semakin rumit dengan kebijakan efisiensi anggaran dari pemerintah pusat yang memangkas TKD. Akibatnya, daerah hanya punya tiga opsi: menaikkan pajak atau retribusi, mengurangi belanja daerah (dengan risiko menurunkan pelayanan publik), atau berutang melalui pinjaman daerah yang menjadi beban APBD di tahun-tahun berikutnya.
Langkah Bijak yang Bisa Ditempuh
Pemerintah daerah perlu bijak dalam menyikapi dilema ini. Formula sederhana dapat dimulai dengan menyesuaikan belanja daerah dengan kemampuan pendapatan. Pencantuman sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) juga harus realistis, serta pengeluaran diarahkan pada program prioritas yang benar-benar berdampak bagi masyarakat.
Selain itu, pemerintah dapat mengurangi biaya operasional dan kegiatan seremonial, mendorong partisipasi dunia usaha dan masyarakat, serta mengoptimalkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi pelayanan publik.
Jika kenaikan PBB-P2 tidak dapat dihindari, komunikasi publik menjadi kunci. Masyarakat harus diberi penjelasan yang sederhana dan gamblang, apakah kenaikan pajak berasal dari tarif baru atau penyesuaian nilai objek pajak. Misalnya, awalnya pajak hanya dikenakan pada tanah kosong, namun setelah berdiri bangunan, tentu nilainya akan bertambah.
Sensitivitas Sosial Ekonomi
Perlu diingat, kondisi sosial-ekonomi dan psikologi masyarakat saat ini sedang tidak baik-baik saja. Arus informasi yang deras dari berbagai media membuat isu di satu daerah mudah memicu resonansi dan penolakan di daerah lain.
Dengan demikian, setiap keputusan terkait kenaikan pajak harus mempertimbangkan aspek keadilan, komunikasi yang transparan, serta strategi preventif agar kebijakan tidak memicu gejolak.
Kini semua kembali pada pemerintah daerah: apakah memilih langkah preventif dengan efisiensi, atau menempuh jalan lain dengan risiko masing-masing.
Oleh: Nugroho Dwi Atmoko
*) Penulis adalah Pimpinan Perusahaan Trobos.co