TROBOS.CO | Sejak kecil, buku telah menjadi jendela dunia saya. Setiap huruf yang terangkai membentuk kata, setiap kata yang membentuk kalimat, adalah petualangan yang membawa saya melanglang buana tanpa harus meninggalkan kamar. Dari sanalah, sebuah impian besar lahir: menjadi seorang penulis.
Namun, jalan menuju impian itu tidak semulus yang dibayangkan. Menulis ternyata membutuhkan lebih dari sekadar hobi membaca; ia memerlukan ketekunan, kesabaran, dan kerendahan hati untuk belajar dari kesalahan. Naskah-naskah awal saya kerap ditolak oleh redaksi majalah dan koran. Setiap amplop yang kembali adalah tamparan, tetapi saya memilih untuk melihatnya sebagai pelajaran. Saya terus memperbaiki gaya bahasa, memperjelas isi, dan memperkuat pesan.
Hasilnya tidak langsung instan, tetapi pelan-pelan mulai terlihat. Tulisan saya akhirnya menemukan rumahnya di media cetak lokal. Rasanya sungguh luar biasa. Puncak kebanggaan itu semakin bermakna ketika pada 2012, saya berhasil meraih Juara II Lomba Menulis antar Guru se-Kabupaten Lumajang. Trofi itu adalah bukti nyata bahwa proses panjang dan tekad yang kuat tidak pernah mengkhianati hasil.
Semangat menulis saya terus membara, bahkan menjadi penulis tetap di Majalah Suara PGRI Lumajang. Namun, gelombang perubahan tak terelakkan. Kemunculan media sosial seperti Facebook, Instagram, dan TikTok mengubah segalanya. Masyarakat beralih ke konten visual yang singkat. Media cetak, satu per satu, gulung tikar. Ruang untuk tulisan-tulisan panjang seperti milik saya pun menyempit. Dunia yang saya cintai seakan runtuh.
Di tengah ketidakpastian, saya memilih untuk tidak tenggelam. Saya menyadari bahwa seorang penulis harus beradaptasi, bukan hanya beridealisme. Saya pun memutuskan untuk mempelajari bahasa baru: bahasa konten digital. Saya beralih dari menulis di kertas menjadi menulis naskah untuk video singkat. Dari pembaca, audiens saya kini menjadi penonton. Saya menggali ilmu membuat konten yang menarik di Facebook dan TikTok, menjadi seorang konten kreator pemula di usia yang tak lagi muda.
Meski medianya berubah, semangat di baliknya tetap sama: berbagi informasi dan inspirasi. Saya menemukan bahwa kepuasan ketika sebuah konten mendapat respons hangat dari komunitas digital, rasanya tak kalah membahagiakan dibanding melihat nama tercetak di koran. Bahkan, platform digital ini pun memberikan apresiasi finansial yang menjadi motivasi tambahan untuk terus berkarya.
Perjalanan dari seorang anak pecinta buku, menjadi penulis, dan kini seorang kreator digital, mengajarkan saya satu hal mendasar: konsistensi dan kemauan belajar adalah kunci menghadapi perubahan. Saya tak lagi hanya menyebut diri “penulis”, tetapi lebih sebagai “pembelajar sepanjang hayat”. Setiap zaman membawa bahasanya sendiri, dan tugas kita adalah mempelajarinya, tanpa melupakan esensi mengapa kita mulai menulis sejak awal: untuk berbagi kebaikan.
Perjalanan ini belum berakhir. Masih banyak hal baru yang menanti untuk dipelajari.
Oleh: Bambang Mawas S.
Penulis adalah seorang pendidik dan konten kreator yang tinggal di Pasirian, Lumajang.









