TROBOS.CO | Dalam menilai para pemimpin bangsa, kita perlu bersikap adil dan objektif. Jangan hanya melihat dari satu sisi — baik keburukan maupun kebaikan.
Islam mengajarkan agar kita menimbang dengan kejujuran, sebab tidak ada manusia yang sempurna.
Rasulullah SAW bersabda: “Setiap anak keturunan Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini mengingatkan kita bahwa setiap pemimpin pasti memiliki kesalahan dan kekhilafan. Namun, kesalahan itu tidak boleh menutup mata kita dari jasa dan pengorbanan besar yang pernah diberikan.
Sebagian pihak sering menilai Soekarno hanya dari sisi negatif — otoriter, dekat dengan komunisme, dan sarat kontroversi politik.
Namun, jika mau jujur, tidak ada tokoh besar tanpa sisi gelap sejarah.
Sebelum Indonesia merdeka, Soekarno pernah terlibat dalam kerja sama dengan Jepang, termasuk dalam kebijakan romusha — sistem kerja paksa yang menelan banyak korban rakyat. Setelah menjadi presiden, beberapa sahabat seperjuangannya justru tersingkir dari lingkar kekuasaan.
Bung Hatta, pasangan dwi tunggal-nya, akhirnya pecah kongsi pada tahun 1956.
Tokoh seperti Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Buya Hamka, dan Muhammad Natsir bahkan menjadi tahanan politik.
Partai Masyumi dibubarkan, kebebasan pers dibatasi, dan demokrasi dikerdilkan.
Secara pribadi, Soekarno juga dikenal memiliki banyak istri dan beberapa kali menikah di tengah masa jabatannya. Di akhir kekuasaannya, ia menginginkan posisi Presiden seumur hidup, yang sejatinya bertentangan dengan semangat demokrasi yang ia gaungkan.
Namun, apakah semua itu menghapus jasa besar Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan dan membangkitkan semangat kebangsaan Indonesia?
Tidak. Sebab sejarah tidak bisa ditulis dengan tinta kebencian.
Demikian pula dengan H. Muhammad Soeharto. Ia bukan tanpa cela. Namun di tangannya, Indonesia pernah mencapai masa stabilitas politik dan ekonomi yang luar biasa.
Program swasembada pangan, pembangunan infrastruktur nasional, pertumbuhan ekonomi pesat, serta ketahanan militer yang kuat menjadi bukti nyata keberhasilan pembangunan di era Orde Baru.
Banyak bangsa di dunia kala itu mengagumi Indonesia sebagai negara berkembang yang disegani.
Mereka yang hari ini mempermasalahkan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto sebaiknya bercermin dan menilai sejarah secara utuh. Jangan hanya mengangkat kesalahan dan menutup mata terhadap keberhasilan.
Kalau kita mau adil, tidak ada satu pun pemimpin bangsa yang bebas dari kesalahan — baik Soekarno, Soeharto, maupun sesudahnya.
Bangsa yang dewasa bukan bangsa yang sibuk mengadili masa lalu, tetapi bangsa yang mampu belajar dari sejarah, menghormati jasa, memperbaiki kekeliruan, dan melanjutkan perjuangan.
Karena menghargai jasa pemimpin bukan berarti membenarkan semua tindakannya, melainkan tanda kedewasaan kita sebagai anak bangsa — yang mampu melihat sejarah dengan kacamata keadilan, bukan dendam.
Penulis: Muhammad Khoirul Anam, S.H.
(Pemerhati Sosial, Budaya, dan Politik)







