TROBOS.CO | Rabu pagi, 22 Oktober, Lapangan Srikandi Tempeh Lor, Lumajang, berubah menjadi lautan sarung dan semangat kebangsaan. Ribuan santri, pelajar madrasah, guru, tokoh agama, dan masyarakat umum berdiri tegak mengikuti apel peringatan Hari Santri Nasional.
Dalam balutan busana muslim tradisional, mereka memancarkan pesan kuat: pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan Islam, melainkan benteng moral, penjaga budaya, dan pelindung keutuhan bangsa.
Namun, peringatan tahun ini berlangsung di tengah dua peristiwa nasional yang menyedot perhatian publik: insiden di Pondok Pesantren Al-Khoziny Buduran dan kontroversi tayangan televisi nasional yang dinilai mendiskreditkan pesantren NU.
Kedua peristiwa itu menjadi ujian serius bagi haibah pesantren — mampukah dunia pesantren menjaga kehormatan dan kepercayaan publik di tengah derasnya arus opini media?
Sejak masa perjuangan kemerdekaan, pesantren telah menjadi bagian penting dalam membentuk peradaban bangsa. Ia bukan sekadar ruang tafaqquh fid-din, tetapi pusat penggemblengan jiwa cinta tanah air, tempat lahirnya ulama pejuang, sekaligus pengawal budaya Nusantara.
Dalam sejarahnya, pesantren mampu menyatukan tiga poros kehidupan bangsa — agama, budaya, dan negara — dalam satu harmoni. Ketiganya dijaga bukan melalui kekuasaan, melainkan melalui keteladanan moral, kemandirian sosial, dan keteguhan nilai.
Karena itu, kehormatan pesantren (haibah) bukan milik pesantren semata, tetapi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa. Tak boleh ada satu pihak pun yang meruntuhkannya, baik melalui kekerasan, pengelolaan internal yang lalai, maupun pemberitaan media yang tidak proporsional.
Peringatan Hari Santri di Lapangan Srikandi menunjukkan wajah ideal pesantren: religius, disiplin, dan nasionalis. Namun, di ruang publik media, narasi tentang pesantren sering kali dibentuk oleh kecepatan framing, bukan oleh keutuhan fakta.
Satu insiden lokal bisa berkembang menjadi krisis reputasi nasional. Satu tayangan televisi dapat menimbulkan persepsi negatif massal, bahkan tanpa verifikasi mendalam.
Kasus Al-Khoziny Buduran menjadi pelajaran penting bahwa pesantren perlu memperkuat tata kelola dan sistem perlindungan internal. Mekanisme pengaduan yang lemah, kurangnya kesiapan menghadapi krisis, serta komunikasi publik yang tertutup hanya akan memperburuk keadaan.
Sementara itu, kontroversi tayangan televisi yang dianggap mendiskreditkan pesantren NU memperlihatkan bahwa pesantren berada dalam pusaran opini publik yang sangat sensitif. Tayangan yang tidak proporsional bukan hanya melukai komunitas pesantren, tetapi juga berpotensi mendelegitimasi kontribusi pesantren terhadap negara.
Apel Hari Santri seharusnya tidak berhenti pada perayaan seragam dan pidato. Ia harus menjadi momentum strategis untuk memperkuat tata kelola pesantren, membangun jejaring komunikasi publik, serta mempertegas komitmen pesantren sebagai penjaga peradaban bangsa.
Empat Langkah Konkret Menjaga Haibah Pesantren
-
Membentuk Tim Penanganan Krisis Pesantren lintas unsur untuk respons cepat, transparan, dan terbuka.
-
Audit Tata Kelola Pondok secara berkala untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas.
-
Membangun Koalisi Narasi Positif dan Literasi Media agar pesantren dapat mengelola citra publik secara mandiri.
-
Menjadikan Santri Duta Peradaban yang mampu menyebarkan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin melalui karya dan keteladanan.
Haibah pesantren bukan sesuatu yang rapuh — ia akan tetap tegak bila dijaga dengan keterbukaan, tanggung jawab, dan kolaborasi semua pihak.
Jika pesantren mampu menjaga agama, budaya, dan negara selama berabad-abad, maka tak ada alasan untuk membiarkan kehormatannya diruntuhkan oleh segelintir peristiwa atau framing sesaat.
Santri-santri yang berdiri tegak di Lapangan Srikandi bukan sekadar peserta apel — mereka adalah pewaris peradaban. Menjaga mereka, menjaga pesantren, berarti menjaga masa depan bangsa.
Oleh: Mohammad Mas’ud
(Mantan Ketua PCNU Lumajang, Penyuluh Agama Islam Kemenag Kabupaten Lumajang)







