Ketahanan Pangan Lumajang 2025: Tren IKP Naik, Tantangan FSVA, dan Strategi Penguatan

TROBOS.CO – Lumajang | Kabupaten Lumajang sedang bergerak ke arah yang benar dalam ketahanan pangan. Selama lima tahun terakhir, skor Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Lumajang menunjukkan tren meningkat secara perlahan namun konsisten. Sinyal positif ini patut dijaga ritmenya agar tidak sekadar menjadi kenaikan tipis, tetapi benar-benar menghadirkan dampak nyata di meja makan masyarakat.

IKP sendiri adalah skor komposit (0–100) yang merangkum tiga pilar: ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan. Semakin tinggi nilainya, semakin tahan sebuah daerah terhadap kerentanan pangan. Metodenya mengadopsi kerangka global dan diturunkan menjadi sembilan indikator yang rutin diperbarui, sehingga relevan untuk perencanaan kebijakan daerah.

Tren IKP Lumajang: Stabil Naik

Jika menengok ke belakang, laju Lumajang cukup stabil.

  • 2020: 77,57

  • 2021: 78,70

  • 2022: 79,34

  • 2023: 79,42

  • 2024: 79,58

Kenaikan memang tidak besar, namun konsisten menjaga posisi Lumajang di kategori tahan/sangat tahan menurut klasifikasi nasional.

Secara rinci, pilar pemanfaatan—yang terkait gizi, air minum, dan sanitasi—menunjukkan peningkatan, dari 68,15 (2021) menjadi 70,18 (2022). Sementara pilar ketersediaan dan keterjangkauan tetap berada di kisaran tinggi (79–90), menandakan kapasitas produksi dan akses harga relatif terjaga.

Posisi Lumajang di Jawa Timur

Pada 2022, rerata IKP Jawa Timur berada di 79,85, sedikit di atas Lumajang (79,34). Beberapa daerah mencatat skor lebih tinggi, seperti Tulungagung (86,05), Ponorogo (86,20), dan Sidoarjo (82,87). Namun jarak Lumajang tidak terlalu jauh, dan masih masuk kelompok tahan/sangat tahan.

Setahun kemudian, IKP Jawa Timur naik ke 82,46, mempertegas momentum provinsi sebagai salah satu lumbung pangan nasional. Ini memberi konteks: langkah Lumajang selaras dengan tren provinsi, namun ruang penguatan tetap ada.

FSVA: Peta Kerentanan Pangan Lumajang

Selain IKP, alat penting lain adalah Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA), yakni peta tematik yang memetakan ketahanan dan kerentanan pangan hingga level desa dalam enam kelas prioritas (1 = sangat rentan, 6 = sangat tahan).

FSVA Lumajang 2022 menunjukkan pola yang logis:

  • Zona selatan–barat (Tempursari, Pronojiwo, Candipuro, Pasrujambe, sebagian Senduro) masih banyak desa di kelas rentan (Prioritas 1–3).

  • Dataran tengah–timur yang lebih dekat irigasi dan layanan cenderung berada di kelas tahan (Prioritas 4–6).

Karakter wilayah memang menentukan: daerah rawan bencana dan jauh dari pusat layanan biasanya menanggung risiko lebih besar.

Faktor Pendorong dan Guncangan

Kenaikan IKP Lumajang ditopang pilar ketersediaan. Pada 2023, BPS mencatat produksi padi mencapai 308.646 ton GKG dengan luas panen 55.129 hektare—setara 178.218 ton beras untuk konsumsi.

Namun, guncangan juga nyata. Erupsi Gunung Semeru (2021) merusak lahan dan infrastruktur pertanian, memengaruhi akses dan produksi di beberapa kecamatan. Program intervensi pemerintah seperti SPHP Beras dan Gerakan Pangan Murah (GPM) membantu meredam tekanan di pilar keterjangkauan saat harga bergejolak.

Strategi Penguatan ke Depan

Data IKP memberi petunjuk variabel mana yang masih menahan skor Lumajang, terutama pada pilar pemanfaatan. Beberapa langkah cepat yang bisa dilakukan:

  1. Layanan dasar: memperluas akses gizi, air minum layak, dan sanitasi.

  2. Intervensi wilayah prioritas: rehabilitasi irigasi, gudang distribusi pangan desa, serta layanan gizi untuk balita dan ibu hamil di daerah FSVA Prioritas 1–3.

  3. Penguatan distribusi: integrasi pasar–logistik untuk memangkas biaya transportasi antarkecamatan.

  4. Stabilisasi harga: menjaga kesinambungan program SPHP dan GPM saat harga beras naik.

Kesimpulan

Dalam lima tahun terakhir, Lumajang menunjukkan tren positif: dari 77,57 (2020) menuju 79,58 (2024). Pilar pemanfaatan pelan-pelan membaik, sementara ketersediaan dan keterjangkauan relatif kuat.

Peta FSVA menegaskan “di mana” kerja ekstra harus difokuskan—yakni kantong rentan di lereng dan daerah terpencil. Jika kebijakan harian (stabilisasi harga), proyek infrastruktur (irigasi, jalan tani), dan layanan dasar (air, gizi, sanitasi) dikerjakan secara simultan di titik-titik tersebut, maka kenaikan IKP Lumajang bukan sekadar tren tipis, melainkan lompatan kecil yang terasa nyata bagi warganya.

Oleh: Puguh Budi Laswono, anggota ICMI bidang Ketahanan pangan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *