Kontroversi Sound Horeg: Antara Fatwa Haram, Regulasi Gubernur, dan Peringatan Ahli

TROBOS.CO, LUMAJANG – Kontroversi seputar penggunaan sound system berintensitas tinggi atau yang populer disebut “sound horeg” di Jawa Timur memakan korban. Seorang warga di Desa Selok Awar-awar, Kabupaten Lumajang, dilaporkan meninggal dunia saat menonton parade sound horeg, memanaskan kembali perdebatan publik yang tengah bergulir.

Insiden tragis ini terjadi di tengah pusaran dua kebijakan besar: Fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur dan Surat Edaran (SE) dari Gubernur Khofifah Indar Parawansa yang bertujuan menertibkan, bukan melarang.

banner 336x280

Menanggapi isu ini, sejumlah ahli di Lumajang angkat bicara. Dalam sebuah dialog di Radio Suara Muslim Lumajang, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Lumajang, Suharyo, AP., S.H., mengajak masyarakat untuk berpikir jernih. Menurutnya, penggunaan sound system besar bisa memiliki hukum yang berbeda tergantung pada konteksnya.

“Saat khotbah Idul Fitri di stadion yang luas, panitia butuh sound horeg agar terdengar oleh ribuan jamaah. Dalam konteks ini, tentu dibolehkan untuk kebaikan,” jelas Suharyo.

Sementara itu, Wakil Ketua DDII Lumajang, dr. Aliyah Hidayati, Sp.THT-BKL, menyoroti dampak kesehatan. Ia menegaskan bahwa paparan suara dengan volume yang melebihi ambang batas aman, terutama bagi anak-anak dan balita, sangat berbahaya.

“Volume suara yang terlalu keras dapat menyebabkan kerusakan permanen pada saraf pendengaran. Apalagi ada laporan getaran sound horeg sampai merontokkan genteng dan memecahkan kaca rumah warga. Maka, regulasi yang ada harus benar-benar dipatuhi,” ujar dr. Aliyah.

Regulasi Pemerintah vs Fatwa Ulama

Di tingkat provinsi, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, telah mengeluarkan Surat Edaran Bersama yang mengatur penggunaan sound system. SE tersebut menegaskan bahwa pertunjukan sound horeg tidak dilarang, namun ditertibkan secara ketat, termasuk pembatasan tingkat kebisingan maksimal pada 85 desibel.

Langkah pemerintah ini diambil setelah MUI Jawa Timur pada 12 Juli 2025 lalu mengeluarkan fatwa haram untuk penggunaan sound horeg berintensitas tinggi. MUI mendasarkan fatwanya pada tiga alasan utama:

  1. Kesehatan: Menghasilkan kebisingan yang merusak saraf pendengaran.
  2. Lingkungan: Mengganggu ketenangan masyarakat dan aktivitas belajar.
  3. Sosial: Sering dikaitkan dengan kegiatan yang melanggar norma susila seperti joget berlebihan dan konsumsi minuman keras.

Kini, masyarakat dihadapkan pada dilema antara hiburan rakyat yang masif, aturan pemerintah yang moderat, fatwa ulama yang tegas, dan risiko nyata yang mengancam keselamatan jiwa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *